Berjuang untuk Berhenti

Berjuang untuk Berhenti
(Arkt)

           

Disuatu desa kecil yang tentram dan damai, hiduplah sebuah keluarga yang tengah berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdiri dari sepasang suami-istri dan kelima anaknya, keluarga ini hidup dengan sederhana. Mereka yakin bahwa hidup ini adalah perjuangan sehingga tak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan mereka. Dengan beralaskan lantai yang terbuat dari semen dan atap yang terbuat dari asbes, namun mereka tidak sedetikpun mengeluh akan keadaan yang mereka alami. Hal itu ditanam kuat oleh Sang Ayah yang bernama Teguh. Berasal dari keluarga yang sederhana pula, Teguh lantas tidak merasa bosan dengan hidupnya yang masih dibawah rata-rata. Teguh mengamini bahwa hidupnya adalah milik Tuhan Semesta Alam yang akan memberikan berkat bagi orang yang membutuhkan.
Jakarta, Indonesia tahun 2012.
“Mungkin ada yang lebih butuh, nak” kata Teguh setiap kali anak-anaknya menanyakan tentang keadilan Tuhan untuk keluarga mereka.
“Ia, lihat saja kakakmu. Karena berkat Tuhan lah yang membuat dia bisa berkuliah, padahal ibu dan bapak hanya tamatan SD saja” lanjut ibu yang dengan bangga mengisahkan kehebatan anaknya yang pertama, bernama Matahari yang sekarang berkuliah di negara yang terkenal dengan kecanggihan Arloji yaitu Swiss.

“Ia juga ya buk. Anggrek mau terus belajar ah, biar bisa kuliah seperti kak Tata” begitulah harapan yang disampaikan Anggrek untuk mengikuti jejak kakaknya yang pertama yaitu Matahari, atau kerap disapa Tata itu.
“Haha, masih lama Anggrek. Tapi tidak apa-apa, belajarlah dari sekarang supaya kelak kamu bisa seperti kakakmu” terang ibu sambil tersenyum sambil menyisir rambut Anggrek.
****
 Geneva, Swiss tahun 2015.
“Selamat Ta, akhirnya liburan semester genap nanti kamu bakalan pulang ke kampung halamanmu” ucap Violyn teman sekelas Tata dengan antusias.
“Ia, makasih ya, Vi. Aku seneng banget loh. Akhirnya penantian 2 tahunku ga sia-sia” balas Tata dengan nada lega dan penuh harapan.

Hari itu diawali dengan pagi yang cukup mendung namun tetap menyenangkan, ditambah dengan obrolan ringan dua sahabat yang dipertemukan tak sengaja dalam satu kampus ternama di Negara Swiss, yaitu University of Geneva dalam jurusan Manajemen. Kampus ini merupakan kampus terbesar kedua di Swiss. Suatu anugerah terbesar yang dirasakan Tata bisa berkuliah di kampus tersebut, mengingat bahwa ia berasal dari keluarga yang dibawah rata-rata. Namun, pesan ibu dan ayahnya selalu terngiang mengatakan bahwa ia harus menjadi layaknya Matahari yang dimanapun akan tetap berada diatas untuk menyinari seluruh manusia, begitulah latarbelakang namanya.

“Akhirnya! Dari tadi aku nyariin kamu, Ta. Yuk, sini ikut aku..” kata Leon dengan ekspesi lega telah bertemu Tata setelah sekian lama.
“Apa sih lo, Leon. Kami lagi quality time, jadi jangan ganggu deh” bantah Violyn yang merasa obrolannya disanggah tanpa permisi oleh Leon.

“Vi, mendingan kamu ke kantin duluan deh, nanti aku sama Tata nyusul, oke?” pinta Leon dengan nada dan wajah memelas, ditambah dengan seulas senyum tulus yang membuat banyak wanita terpesona, salah satunya Violyn. Namun karena ia tau, Leon menyukai Tata maka dari itu ia mengalah dan merelakan Leon untuk Tata.
“Gausah sok baik deh lo, gue tahu lo cuman modus kan? Yauda, nikmati deh waktu kalian berdua. Gue dikantin ya, Ta” balas Violyn sambil melambaikan tangannya dan memilih menuruni tangga dari pada menunggu lift yang sedang rusak.

“Apa lagi sih, Leon? Kamu uda tahu kan kondisi keluargaku gimana, dan aku sudah bilang ke kamu kalau aku gabisa.” Kata Tata tanpa basa-basi.
“Jadi? Kamu memintaku untuk berhenti berjuang? Aku ga akan pernah lakuin itu, Ta” jawab Leon mencoba tenang.

“Kamu jangan egois, Leon. Ingat, kita bagaikan langit dan bumi. Sudahlah, lebih baik kita berteman saja. Aku mau menyusul Vivi, bye.” kata Tata menyudahi.
“Ta, jangan pernah katakan “bye”. Karna kita pasti akan bertemu lagi, aku yakin itu. See you, Ta” balas Leon dengan nada lemah dan pergi meninggalkan Tata terpaku.

“Mau sampai kapan kau seperti ini? Berhentilah. Ku mohon. Berkali-kali aku katakan kalau kita tidak bisa bersatu. Takdir kita berbeda. Berat jika pada akhirnya, kau berjuang untuk berhenti. Maka dari itu, temukanlah orang yang sepadan denganmu. Aku rela.”
****
Jakarta, Indonesia 2015.
Suatu sore menuju malam, terdengarlah suara telepon berdering. Nama “Tata” terlihat jelas di layar ponsel, tanpa berlama-lama Anggrek yang mendengar dan melihat telepon itu berbunyi langsung mengangkatnya.

“Buk, Pak. Kak Tata menelpon!” teriak Anggrek dengan gembira.
“Benarkah? Buk, ayo cepat ke sini” tambah Ayah tidak kalah semangatnya.
“Haloo. Bagaimana kabar kalian?” terdengar suara Tata dari ujung negeri yang terpisah dengan jarak dan waktu yaitu sekitar 5 jam.

“Baikkk..” serentak ayah, ibu dan Anggrek menjawab pertanyaan Tata.
“Besok pesawat Tata, berangkat jam 10 pagi pak, buk. Berarti di Indonesia sekitar jam 3 sore. Perjalanan dari Geneva ke Indonesia sekitar 16 jam, jadi Tata tiba di Jakarta sekitar jam 7 pagi.” jelas Tata sambil memandangi tiket dan foto Leon di buku diary nya secara bergantian.

“Oh begitu, baiklah ibu, ayah dan Anggrek adikmu akan menjemputmu di bandara besok. Ibu tidak sabar melihatmu sekarang, nak.” kata Ibu dengan lembut sehingga tetesan air mata tulus pun keluar perlahan beriringan dengan senyum bahagia.

Tidak terasa kedatangan Tata kian mendekati waktu yang ditetapkan, dengan tidak sabar ibu bapak dan Anggrek memandangi sekeliling Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Ayah, Ibu, Anggrek!!!” teriak Tata dengan bercucuran air mata terharu,
“Tataaaaa!!!” serentak mereka memeluk Tata melepas rindu yang sudah hampir 2 tahun.

“Tata bersyukur bisa diberi kesempatan kembali ke Indonesia, yah, buk.” kata Tata dengan senyum lebar dan ikhlas.
“Kak Tata makin cantik aja deh” goda Anggrek.
“Hei adikku, kamu juga cantik kok” balas Tata menggoda Anggrek sambil mengelus kepalanya.
“Siapa dulu ibuknya” jawab ibu memecahkan suasana sedih menjadi tawa lepas.

“Ini yang membuatku bahagia dan aku memilih membahagiakan mereka. Karena satu hal yang aku tau bahwa, keluarga bukan sekedar fisik belaka namun siapa yang berada di dekat kita dan kita merasa nyaman didekatnya”
****
Geneva, Swiss tahun 2015.
“Gimana liburannya, Ta. Wah pasti seru banget kan?” sapa Vivi ketika melihat Tata setelah libur panjang berlalu.
“Nanti aku ceritain ya Vi, sekarang aku mau bertemu Leon” balas Tata singkat.

“Disaat keluargaku mengatakan bahwa sekalipun takdir setiap manusia berbeda, namun berjuanglah untuk berhenti mengeluh dan menyalahkan keadaan.
Berjuang untuk berhenti meratapi kekuranganmu, bersyukurlah”

“Leon, aku memilih untuk berjuang bersama kamu”
“Sudah aku duga kamu akan kembali, Ta. Terimakasih.”







--- selesai ---

Komentar

Postingan Populer